SHARE

Ilustrasi (istimewa)

Putusan MK ini tidak membatalkan substansi melainkan membatalkan aspek formal pembentukan UU.

Namun hal itu dapat berdampak pada kepastian dan keyakinan masyarakat khususnya iklim berusaha yang menjadi harapan besar membangkitkan ekonomi nasional.

Oleh karena itu, pemerintah harus segera membentuk pusat/badan regulasi nasional agar dalam segi formal peraturan perundang-undangan tidak berakibat disharmoni/bertentangan dan tertata dengan baik serta lebih efektif dan efisien sehingga tidak menimbulkan preseden buruk bagi kepastian hukum.

Bagi Atang, pembentukan Pusat Legislasi Nasional dibuka ruangnya oleh UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU PPP yang mengurusi pembentukan/penyusunan peraturan perundang-undangan di internal pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.

"Namun sayangnya, hingga kini belum dibentuk," ujarnya.

Atang menegaskan bahwa peraturan pelaksana UU Cipta Kerja masih tetap berlaku karena putusan MK hanya menyatakan tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Namun ada pertanyaan yang sangat substantif, menurut Atang, apakah dasar MK melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana baru? Padahal peraturan pelaksana dari UU Ciptaker adalah PP, Perpres, dan Permen, termasuk peraturan daerah, seandainya pemerintah membuat peraturan pelaksana baru maka MK tidak dapat membatalkan peraturan pelaksana baru tersebut.

Karena yang berwenang melakukan pengujian peraturan pelaksana UU/peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang adalah Mahakamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Menurut Atang, peraturan pelaksana UU Cipta Kerja sekitar 45 Peraturan Pemerintah dan 5 Peraturan Presiden, belum lagi ditambah peraturan menteri sehingga peraturan tersebut tetap eksis sepanjang tidak dibatalkan oleh lembaga yang berwenang atau dicabut oleh lembaga pembentuknya.

Halaman :