Akaber, yang saat ini tinggal di sebuah tenda di pantai Kota Deir al-Balah, seperti kebanyakan warga Palestina di Jalur Gaza, terpaksa mengungsi dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menyelamatkan diri dari serangan Israel yang masih berlanjut.
"Sejak saya meninggalkan rumah saya di Gaza City 10 bulan lalu, saya tidak pernah menemukan satu tempat pun yang memenuhi kebutuhan dasar manusia. Hal terburuk adalah kurangnya air dan perlengkapan kebersihan pribadi," ujar Akaber.
Noaman Nassar, anak Palestina lainnya yang berusia sembilan tahun, menderita penyebaran jerawat dengan komedo putih dan hitam di sekujur tubuhnya.
"Saya tidak bisa mengenakan pakaian apa pun karena rasanya sakit. Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menggaruk tubuh saya sepanjang waktu," ungkap bocah laki-laki itu kepada Xinhua. "Saya pergi berenang di laut dengan ayah saya untuk menghilangkannya, tetapi semua upaya itu gagal, dan rasa sakit saya semakin bertambah dari hari ke hari."
Seorang anak Palestina yang terinfeksi penyakit kulit terlihat di wilayah Mawasi di Kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, pada 6 Agustus 2024. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)
Dengan terbatasnya akses air dan sanitasi, penyakit menular dan infeksi kulit terus merajalela di seluruh Gaza, menurut laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) pada akhir Juli lalu.