SHARE
1 / 3
2 / 3
3 / 3

istimewa

Impotensi -- mungkin bukan topik yang familiar untuk diangkat dalam sebuah film, pun dengan percakapan sehari-hari. "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" berhasil menghadirkan kritik terhadap budaya maskulin yang beracun, menekankan bahwa isu soal kejantanan ini rasanya masih relevan hingga kini, terlepas dari latarnya di tahun 80-90-an.

Penonton Indonesia juga akan menangkap sejumlah kritik terselubung, yang juga ditujukan dalam novelnya, termasuk tentang pandangan superior terkait machoisme yang mengemuka pada era 80-an.

Di sisi lain, penampilan Marthino Lio sebagai sang jagoan kampung yang impoten pun sangat mencuri perhatian. Bersama dengan naskah yang divisualkan dengan apik, mampu membawa penonton ikut mengeksplorasi trauma, perjalanan, dan perkembangan karakternya.

Pun dengan Ladya Cheryl, mampu membawa Iteung si jagoan kampung yang tangguh secara mempesona di layar lebar. Selain aksi yang tak kalah memukau dari para pemeran pria, Ladya mampu membawa sisi emosional yang membuat penonton terpesona, dan mengikuti kisah tokoh ini dari awal hingga akhir -- bahkan menuai diskusi dari sudut pandang penonton wanita tentang maskulinitas.

Bicara soal cerita, Edwin dan Eka Kurniawan menjejalkan cukup banyak alur cerita yang berkelok-kelok, terutama yang melibatkan Jelita (Ratu Felisha), yang penampilannya penuh teka-teki.

Beralih ke visual, rasanya film ini menjadi obat rindu dan surat cinta para pembuatnya kepada sinema Indonesia di era tersebut. Berlatar waktu di akhir tahun 80an dan awal 90an, "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" berusaha menghadirkan estetika sinema dari era tersebut melalui banyak cara. Salah satunya adalah penggunaan seluloid.

Sang sutradara sebelumnya menjelaskan bahwa referensi gambar sangat dipengaruhi oleh imaji yang terekam dalam berbagai acara TVRI seperti "Flora dan Fauna", "Sesame Street", hingga "Si Unyil" yang kebanyakan menggunakan medium pita seluloid 16mm.
 

Halaman :
Tags
SHARE