SHARE

Istimewa

Didampingi oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Bintang Puspayoga, Menteri Siti, menyebut dengan disusunnya RAN-GPI, maka telah ada panduan untuk bagaimana mendorong peran dan kapasitas kemampuan perempuan dalam konteks agenda-agenda aksi iklim di Indonesia.

Menteri LHK juga mempersilakan tim pelaksana RAN-GPI dari kementerian atau lembaga terkait untuk dapat berkonsultasi mengenai program pengendalian perubahan iklim dan target kontribusi nasional penurunan emisi (Nationally Determined Contribution/NDC) Indonesia. Mereka dapat bersinergi dalam Rumah Kolaborasi Konsultasi Iklim dan Karbon (RK2IK) yang ada di Kementerian LHK.

Diingatkan jika peran penting perempuan harus didorong dalam agenda-agenda pengendalian perubahan iklim karena perempuan adalah elemen masyarakat yang paling terdampak terkait dengan bencana akibat perubahan iklim. Ia pun berharap kedepan kondisi lingkungan Indonesia akan semakin baik berkat tangan-tangan perempuan hebat Indonesia.

Adapun Menteri PPA Bintang Puspayoga juga menyebut Dokumen RAN-GPI adalah bentuk kerja bersama dalam mendukung kontribusi perempuan dan anak untuk mencegah perubahan iklim. Pasalnya, perempuan dan anak jumlahnya mencapai 2/3 penduduk Indonesia.

Ini tantangan kepada perempuan dan anak untuk melakukan aksi pencegahan perubahan iklim, di tengah budaya masyarakat yang masih meminggirkan peran perempuan dalam pembangunan bangsa. “Perempuan jangan hanya dijadikan objek dari pengendalian perubahan iklim tapi harus mulai menjadi subjek,” tukasnya.

Analisis dari Kementerian PPA menyebut paparan perubahan iklim yang diprediksi terjadi pada tahun 2050, diperkirakan menyasar 251 juta populasi atau setara dengan 62,7 juta rumah tangga. Dari jumlah tersebut sebanyak 25,1 juta kelompok rentan terpapar, yang terdiri 68 persen dewasa, 24 persen anak-anak, dan 8 persen lanjut usia (lansia).

Sementara itu, pihak Kementerian PPPA juga mencatat ada delapan dampak perubahan iklim yang berpengaruh pada kesenjangan gender, yakni gagal panen, ketersediaan bahan bakar, kelangkaan air, bencana iklim, penyakit, perpindahan penduduk, konflik, dan kemiskinan.

Untuk meningkatkan partisipasi bermakna perempuan dalam mitigasi krisis iklim, perlu melibatkan lebih banyak perempuan dalam proses politik dari tingkat desa hingga pusat. Survei Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menunjukkan parlemen yang anggotanya didominasi perempuan cenderung menghasilkan kebijakan atau regulasi yang ramah lingkungan. dilansir indonesia.go.id

Halaman :
Tags
SHARE