SHARE

Istimewa

CARAPANDANG - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyampaikan duka cita yang mendalam atas meninggalnya joki cilik di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Korban yang adalah pelajar kelas 5 Sekolah Dasar meninggal karena pendarahan otak setelah terjatuh saat berlatih  di arena pacuan kuda. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar menyatakan kejadian serupa telah terjadi beberapa kali dengan korban meninggal dan luka parah serta cacat adalah anak-anak. 

“Kami turut prihatin atas kejadian insiden joki cilik yang terus berulang. Beberapa kali kami sudah melakukan pertemuan dan diskusi dengan organisasi perangkat daerah, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama. Kami sepenuhnya paham bahwa ini tradisi yang coba dipertahankan oleh masyarakat.  Pada kasus ini, kami menyoroti pelibatan anak sebagai joki kuda yang dapat mengancam jiwa anak apalagi jika tradisi tersebut diduga memenuhi unsur eksploitasi pekerja anak dan eksploitasi ekonomi.  Kami berharap praktik penggunaan joki cilik ini agar dapat dihentikan karena beresiko pada kematian dan termasuk bentuk pekerjaan terburuk bagi anak mengingat anak dalam kondisi lingkungan pekerjaan yang tidak aman, membahayakan keselamatan dan kesehatan anak, dan mengganggu tumbuh kembang anak secara keseluruhan. Unsur perlindungan bagi nyawa anak harus diutamakan,” tegas Nahar pada Selasa (15/08) di Jakarta.

Nahar menyatakan sebelumnya pernah ada kasus serupa yang menimpa joki cilik pada Maret 2023 dan 2019 silam dan beberapa di antaranya mengalami luka dan kecacatan. Penggunaan joki anak usia 6 – 18 tahun di Bima sudah menjadi tradisi, karena berat badan joki anak jauh lebih ringan daripada berat badan joki dewasa, sehingga memudahkan kuda untuk berlari dengan kencang dan mencapai garis finish dalam waktu yang cepat. Dalam praktiknya, tradisi joki cilik ini rentan mencederai anak dari sisi pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak. Anak berpotensi untuk terluka, mengalami kecacatan hingga meninggal dunia sekaligus rentan masuk ke dalam pusaran eksploitasi ekonomi yang membahayakan tumbuh kembang baik dari sisi fisik, mental, sosial, moral maupun spiritual. 

“Jika anak terjebak dalam situasi eksploitasi ekonomi maka ia akan cenderung untuk kesulitan meneruskan pendidikan. Hal ini berdampak pada minimnya aksesibilitas, yang dalam jangka panjang dapat melanggengkan kemiskinan. Sedangkan, dari konteks sosial, sangat mungkin jenis lingkungan pergaulan yang ditemui oleh anak adalah lingkungan yang tidak ramah anak. Di samping itu, eksploitasi ekonomi pada anak tidak sejalan dengan arahan presiden yaitu penurunan pekerja anak,” ujar Nahar.

Pemerintah daerah setempat telah mengeluarkan Surat Edaran Bupati Bima nomor 709/036/05/2022 tentang Joki Cilik Bagian dari Eksploitasi Anak yang merupakan langkah strategis dalam upaya perlindungan anak.  Menurut Nahar dibutuhkan regulasi yang lebih tinggi dan tataran aplikatif agar pemenuhan hak dan perlindungan anak bisa lebih optimal.

“Perlu ada penegasan melalui Perda terkait Keselamatan Penyelenggaraan pacuan kuda yang tidak melibatkan anak. Semua aspek pacuan kuda yang berbahaya bagi keselamatan anak, perlu diatur dalam standar dan prosedur baku sesuai aturan Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PORDASI). Dalam Peraturan Daerah juga memasukkan unsur penerapan sanksi bagi yang melanggar agar kasus kematian dan insiden yang mencelakakan anak dalam pacuan kuda tidak terulang kembali. Pemerintah daerah punya kewajiban besar untuk memberikan perlindungan anak dan pemenuhan hak anak di wilayah mereka,“ ungkap Nahar.

Kemen PPPA juga mendorong agar Aparat Penegak Hukum (APH) dapat menegakkan aturan hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Pelaku yang menempatkan, atau membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi, khususnya pada penyelenggaraan pacuan kuda yang melibatkan anak, yang membahayakan keselamatan jiwa anak, yang berhubungan dengan olahraga, budaya dan kesenian, diduga dapat dijerat dengan Pasal 76 I jo Pasal 88, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.

Selain unsur Pemerintah, KemenPPPA juga menilai perlu ada perhatian dan kolaborasi dari lintas sektor seperti LSM perlindungan anak, Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PORDASI), tokoh agama, budayawan, dan akademisi untuk memiliki kesamaan persepsi sehingga dapat mengedukasi masyarakat tentang aspek perlindungan anak, instrumen kebijakan hukum terkait perlindungan anak, bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, kaitan dengan eksploitasi ekonomi pada anak, serta pemetaan masalah eksploitasi anak pada pengembangan minat dan bakat anak, demi kepentingan terbaik bagi anak. dilansir kemenpppa.go.id

Tags
SHARE