SHARE

Istimewa

CARAPANDANG - Gemerlap lampu warna warni menghiasi panggung penutupan ASEAN Para Games XI 2022 di Stadion Manahan, Surakarta, Sabtu (5/8). Meriah, namun khidmat, perhelatan ASEAN Para Games resmi ditutup oleh Presiden RI, Joko Widodo yang dihadiri pula oleh Menteri Sosial, Tri Rismaharini dan para Menteri Kabinet Indonesia Maju.

Tidak kurang 10.000 penonton bersorak sorai menggelora di Stadion Manahan semakin menguatkan semangat dan rasa bangga kontingen Indonesia yang berhasil meraih juara umum di ASEAN Para Games ke-11 ini. 

Dibalik keberhasilan tersebut, ada kisah menarik, perjuangan Sri Hartatik, mantan penerima manfaat dari Sentra Terpadu "Prof. Dr. Soeharso" di Surakarta milik Kementerian Sosial. 
 
Dengan segala keterbatasan yang ia miliki, Sri Hartatik berhasil membuktikan, bahwa keterbatasan bukan suatu hambatan. "Selama tekun dan gigih berlatih, akhirnya saya bisa ikut dalam perhelatan level internasional ini dalam bidang panahan. Di kesempatan berikutnya, saya akan berusaha lebih baik lagi untuk mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia. Mohon doanya semua," ucapnya penuh haru. 
 
Perempuan 40 tahun itu merupakan alumni penerima manfaat Sentra Terpadu "Prof. Dr. Soeharso" di Surakarta, Kementerian Sosial tahun 2000 yang mengikuti perhelatan para penyandang disabilitas berbakat ini. Bukan hal mudah menembus jajaran atlet profesional tingkat internasional. 
 
Tatik harus berjibaku di Pekan Paralimpiade Nasional atau Pekan Paralimpik Indonesia (Peparnas) 2021. Di ajang serupa Pekan Olahraga Nasional (PON) ini, Tatik menyabet emas di cabang olahraga panahan, yang sejak 2019, ia tekuni. Medali emas ini jadi tiket masuk sebagai atlet ASEAN Para Games.
 
“Ya pasti karena doa, latihan keras, dan rasa percaya diri,” kata Tatik, berbagi kiat suksesnya. Kepercayaan dirinya muncul sejak ia diberi kesempatan mengembangkan diri saat masuk di Sentra Terpadu "Prof. Dr. Soeharso" di Surakarta, di bawah naungan Kementerian Sosial.
 
Sejak usia 3 tahun, ia menjadi penyandang disabilitas karena polio pada kaki sebelah kanan. Perasaannya campur aduk. Ia malu, tidak percaya diri, bahkan merasa tidak punya masa depan.
 
“Setelah masuk Sentra, seperti kata R.A. Kartini, ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’, saya mulai percaya diri," katanya. Selama menjalani rehabilitasi di Sentra, ia mendapat berbagai layanan, baik rehabilitasi sosial, medis maupun pelatihan vokasional, sehingga ia memiliki keterampilan untuk dapat mengembangkan diri. "Di situ, saya diajarkan untuk mandiri. Di situ juga, saya menemukan bakat dan minat saya," katanya. 
 
"Setelah berbagai rehab saya jalani, dari Sentra, tumbuh rasa percaya diri saya. Seolah-olah dunia terbuka. Belajar berbagai keterampilan, ternyata saya bisa," katanya dengan suara bergetar.
 
Dari tangannya yang berbakat, ibu dua anak ini tidak hanya piawai membidik sasaran dengan panah. Ia juga terampil mengolah masakan. Sebelum berlatih merentang busur panah, ia membuka pesanan nasi kotak dan makanan kecil untuk berbagai kegiatan. 
 
Namun sayang, saat pandemi, usahanya sepi orderan. Tak hilang akal, ia menekuni olahraga panahan yang pernah ia pelajari di Sentra Terpadu "Prof. Dr. Soeharso" di Surakarta. Pelatih melihat ada bakat pada dirinya.
 
Akhirnya, ia ditawari untuk menjadi atlet panahan. "Saya optimistis kok, Bu. Niat saya memanah pertama adalah karena ini salah satu jenis olahraga (sunnah) anjuran Rasul, namun juga ada prestasinya. Jadi, semboyan saya 'Gapai Sunnah dan Raih Prestasi," katanya yakin.
 
Banyak kesan yang ia dapatkan selama dibimbing di Sentra Terpadu "Prof. Dr. Soeharso" di Surakarta. Tatik mengaku Sentra ini merupakan surganya teman-teman disabilitas. "Dari sini, rasa percaya diri mereka tumbuh dan optimis menggapai hidup," katanya.
Halaman :
Tags
SHARE